MAKALAH
TENTANG
KONSTITUSI HARUS BERMORAL
Diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas
mata pelajaran
PKn
Disusun
oleh :
|
Kelompok :
|
4
|
|
Ketua :
|
Anggie
Sundari
|
|
Anggota :
|
Nyimas
Siti F
Febi
Sela
Indah
Siti H
Hermawan
Tomi
|
SMPN 1 KADUNGORA
Jalan
Mandalawangi No. 40 Kadungora
Tahun Ajaran
2013-2014
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas
penulis ucakan kepada Allah STW, yang karena bimbingannyalah maka penulis bisa
menyelesaikan sebuah makalah berjudul “Konstitusi harus bermoral”
Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dalam jangka
waktu tertentu sehingga menghasilkan karya yang bisa dipertanggungjawabkan
hasilnya. Saya mengucapkan terimakasih kepada pihak terkait yang telah membantu
saya dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang
mendasar pada makalah ini. Oleh karna itu saya mengundang pembaca untuk
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu
pengetahuan ini.
Terima kasih, dan semoga makalah ini
bisa memberikan sumbangsih positif bagi kita semua.
Kadungora, Desember 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A.
Latar Belakang................................................................................. 1
B.
Identifikasi Masalah ........................................................................ 1
C.
Tujuan penulisan ............................................................................. 1
D.
Kegunaan Penulisan......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 3
A.
Perjalanan Konstitusi di Indonesia ................................................. 3
B. Mengelola Negara Tanpa Melek Etika..................................... ....... 5
C. Dasar Prinsip
Etika Bernegara......................................................... 7
BAB III PENUTUP..................................................................................... ....... 9
A. Kesimpulan............................................................................... ....... 9
B. Saran......................................................................................... ....... 9
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... ..... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Harus diakui, reformasi 1998 membuat demokrasi kita
berkembang lebih bagus. Apa bagusnya? Karena reformasilah kita dapat menggugat
dengan keras konstitusi yang berlaku. Ini tak terbayangkan dapat dilakukan pada
masa lalu, saat otoriterisme Orde Lama dan hegemoni Orde Baru mencengkeram
kehidupan berbangsa kita.
Kala
itu kalau ada orang mempersoalkan UUD 1945 dipandang sebagai penjahat,
kontrarevolusi, dan subversif, meski persoalannya didekati dari sudut
akademis-ilmiah. Kampus-kampus dan para guru besarnya dihadapkan pada dua
pilihan: menjadi corong penguasa untuk mengatakan bahwa UUD 1945 itu yang
terbaik, atau bertiarap agar tidak dilibas. Tak ada kebebasan akademis, apalagi
kebebasan mimbar akademis.
Dulu
negara telah membangun tembok sakralisasi atas UUD 1945 dengan kekerasan yang
membabi-buta. Padahal itu salah dan melawan arus sejarah. Seperti kata ahli
konstitusi terkemuka, K.C. Wheare, konstitusi itu adalah resultante alias
kesepakatan produk situasi atau keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya
masyarakat pada waktu tertentu, yang jika situasi dan kebutuhan berubah,
konstitusi pun bisa, bahkan harus, diubah pula. Tak ada konstitusi yang dapat
dipaksakan untuk berlaku selamanya.
B. Identifikasi Masalah
-
Sudahkah baikkah moral para pelaku konstitusi di negara ini.
-
Sejauhmana konstitusi telah dilaksnaakan
-
Apakah bermanfaat konstitusi itu
C. Tujuan penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas akhir
semester ganjil mata pelajaran PKn
D. Kegunaan Penulisan
-
Diharapkan dengan pembuatan makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis sendiri atau para pembaca pada umumnya.
-
Untuk ijadikan pedoman dalam kehidupan
sehari-hari
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perjalanan Konstitusi di Indonesia
Reformasi
1998 telah merobohkan tembok sakralisasi UUD itu. Sekarang kita sudah bisa
mengikuti Wheare, UUD 1945 sudah diubah (diamendemen) secara sah sebanyak empat
kali tanpa tekanan dari siapa pun. Dan konstitusi yang sudah diamendemen ini
pun membuka pintu lebar bagi siapa pun untuk mempersoalkannya kembali tanpa
harus takut ditangkap.
Nyatanya,
sekarang ini banyak yang mempersoalkan UUD hasil amendemen yang sedang berlaku
secara resmi. Ada yang mempersoalkan isinya, ada yang mempersoalkan keabsahan
prosedurnya. Ada yang ingin kembali ke UUD 1945 yang asli, tapi banyak yang
ingin mengambil jeda dulu dari menguras energi politik, dan melaksanakan saja
UUD yang berlaku sekarang. Jauh lebih banyak lagi yang bersemangat melakukan
amendemen kelima dengan alasan mumpung masalahnya masih hangat dan dulu kita
melakukan perubahan tanpa pertimbangan yang matang. Menurut pandangan arus
besar ini, sekarang saatnya kita berpikir lebih dalam, tidak emosional dan
tidak pula terlalu romantis atau sentimental, untuk membuat UUD yang lebih baik
lagi.
Menghadapi
situasi ini kita pun tak boleh melawan arus sejarah seperti yang dilakukan oleh
Orde Lama dan Orde Baru, melawan arus bahwa perubahan adalah keniscayaan. Kita
tak boleh dan tak berhak melarang keinginan orang untuk melakukan perubahan
seperti halnya kita tak boleh melarang orang untuk berpendapat agar kita
kembali ke UUD 1945 yang asli. Ini sama tak bolehnya dengan kita melarang orang
bergeming pada sikap bahwa hasil amendemen yang ada sekarang sudah maksimal dan
bagus dan tak perlu diubah-ubah lagi.
Semua
harus ditampung dan disalurkan melalui proses yang konstitusional agar dapat
lahir konstitusi buatan rakyat atau konstitusi yang mencerminkan arus besar
kehendak rakyat, tanpa manipulasi oleh pandangan sepihak para elitenya.
Penekanan
tentang "konstitusi buatan rakyat" ini penting karena, kalau
berbicara perubahan konstitusi, banyak di antara kita yang mengukurnya dengan
teori produk pakar atau yang berlaku di negara lain. Misalnya ada yang
mengatakan konstitusi kita salah karena tak sesuai dengan teori Trias Politika
yang asli sebagaimana diciptakan oleh Montesquieu. Pertanyaannya, siapa yang
mengharuskan kita mengikuti Montesquieu? Kalau Montesquieu bisa membuat teori,
mengapa kita tak membuat teori yang sesuai dengan kebutuhan kita sendiri? Lagi
pula, yang manakah teori Montesquieu
yang asli sebagai sistem ketatanegaraan itu? Bukankah setiap negara membuat
modifikasi sendiri-sendiri di dalam konstitusinya?
Ada
juga yang mengatakan, salah satu kesalahan konstitusi kita adalah tidak
jelasnya sistem perwakilan bikameral dengan prinsip checks and balances seperti
yang berlaku di Amerika Serikat. Karenanya, parlemen kita pincang karena DPD
kita mandul. Pertanyaannya, siapa yang mengharuskan kita mengikuti sistem
bikameral ala Amerika Serikat? Bukankah kita dapat membuat desain sendiri
tentang parlemen sebagai pilihan politik kita? Bahwa yang ada sekarang
dipandang kurang baik, dapat saja kita perbaiki lagi, tetapi tanpa harus
membelenggu diri untuk meniru yang berlaku di Amerika Serikat.
Kita
berhak penuh untuk membuat teori konstitusi kita sendiri. Hukum tata negara
yang berlaku di suatu negara adalah apa pun yang ditulis oleh rakyat di negara
itu sendiri di dalam konstitusinya. Itu terlepas dari soal sama atau tidak sama
dengan teori tertentu dan tak terkait dengan soal sejalan atau tak sejalan
dengan yang berlaku di negara lain.
Sebagai
wacana proses pembaruan konstitusi, bisa saja teori, pendapat pakar, dan sistem
yang berlaku di negara lain dikemukakan sebagai bahan pembaruan. Tetapi kita
tak terikat untuk mengikuti itu semua karena kita memiliki tuntutan situasi dan
kebutuhan sendiri.
Mungkin
saja ada bagian konstitusi yang sama dengan teori tertentu atau sama dengan
yang berlaku di negara lain, sedangkan bagian lainnya berbeda. Itu sah saja
sebagai pilihan politik kita sendiri. Yang berlaku tetaplah yang ditulis di
dalam konstitusi sesuai dengan politik hukum yang kita pilih sendiri. Dengan
sikap dan pandangan seperti itulah kita harus menghadapi tuntutan perubahan
kembali konstitusi dengan berbagai variasi alternatifnya.
B.
Mengelola Negara Tanpa Melek Etika
Dalam demokrasi beradab, hukum
berenang di lautan etika, sehingga defisit undang-undang selalu bisa ditutupi
kecukupan moralitas. Dalam demokrasi lemah adab, hukum berenang di lautan para
perompak, sehingga surplus undang-undang tak membuat tertib hukum, malah
semakin membuka peluang bagi aksi-aksi kejahatan manipulatif.
Persoalan yang menyangkut politik
dinasti sebagai sarang korupsi dan tsunami yang menimpa Mahkamah Konstitusi
(MK) adalah gunung es yang menyingkap persoalan besar republik ini. Akar
terdalam kebiadaban penyelenggara negara itu bersumber dari paceklik etika
politik. Padahal, etika politik menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan
sosial-politik, kesejahteraan bersama, dan keadilan sosial. Seperti kata Paul
Ricoeur, etika politik adalah kekuatan reflektif untuk membongkar argumen yang
melegitimasi kebijakan publik dengan menempatkan diri dalam posisi dan dimensi
moral orang lain.
Tidak ada yang lebih sempurna menggambarkan
krisis etika politik ini seperti musibah yang menimpa MK. Para hakim konstitusi
mestinya sadar benar akan sebuah diktum yang menyatakan, ”tidak ada konstitusi
tanpa moral”. Diktum inilah yang melandasi pernyataan Prof Soepomo di akhir
penjelasannya tentang Rancangan Undang- Undang Dasar 1945. ”Segala sistem ada
baik dan jeleknya,.. sistem mana saja tidak sempurna.” Lantas ia tekankan, apa
pun rancangan Konstitusi Indonesia, untuk kesempurnaannya sangatlah ditentukan
semangat moral penyelenggara negara. Bahwa ”yang sangat penting dalam
pemerintahan dan dalam hidup negara ialah semangat, semangat para penyelenggara
negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin
undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat
para penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan,
undang-undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik.”
Alangkah tragisnya ketika
ketidaksempurnaan konstitusi yang mestinya ditutupi moral penyelenggara negara,
Ketua MK malah jatuh ke tangkup penguasaan tangan-tangan amoral. Namun, solusi
atas kemelut MK yang ditempuh Presiden juga menggambarkan situasi yang lebih
sinister. Krisis etika tidak ditutupi oleh solusi etis, tetapi oleh pelanggaran
etis. Mengeluarkan perppu tanpa kegentingan yang memaksa selalu mengandung
potensi susupan kepentingan lain dan melampaui batas etis.
Berbagai ekspresi ketidakpatutan
etis yang diperagakan para pemimpin republik ini mengindikasikan meluasnya
fenomena ”buta moral” (moral iliteracy) yang melanda bangsa. Rendahnya tingkat
melek moral inilah yang membuat para penyelenggara negara kekurangan rasa malu
dan rasa kepantasan. Dalam kehidupan publik yang sehat, ada banyak hal yang tak
bisa dibeli dengan uang. Namun, dengan menipisnya rasa malu dan rasa
kepantasan, cuma sedikit yang masih tersisa. Hampir semua nilai, termasuk harga
diri, bisa dibeli oleh uang.
Kehilangan terbesar bangsa ini
bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, atau popularitas
tokoh, melainkan kehilangan harga diri karena diabaikannya semangat moral
kehidupan bernegara. Hilangnya harga diri dan prinsip kehidupan membuat para
politisi dan penyelenggara negara tumbuh dengan mentalitas pengemis. Para
pemimpin di segala lapis dan segi tak terbiasa lagi meletakkan tangan di atas,
melainkan senantiasa di bawah. Mereka mengalami kemiskinan permanen karena tak
pernah merasa cukup dengan yang telah ditimbunnya dari mencuri hak orang
banyak.
Betapa banyak orang menyandang
predikat pemimpin, tetapi dengan mentalitas pengemis. Dalih ketidakcukupan gaji
sebagai pejabat negara dijadikan alasan terus menggelembungkan aneka tunjangan
dan pencarian rente. Tabiat seperti ini melenceng jauh dari kesadaran etis
pendiri bangsa. Di tengah impitan depresi ekonomi dan represi rezim pada dekade
1930-an, setegar baja Bung Hatta berkata: ”Betul banyak orang yang bertukar
haluan karena penghidupan, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh dari
godaan iblis itu.”
Indonesia lahir karena perjuangan
dan komitmen luhur memuliakan nilai dan martabat manusia. Dalam memperjuangkan
harga diri manusia lewat kemerdekaan, Indonesia telah lolos dari berbagai ujian
kemelaratan dan penderitaan. Namun, daya hidup dan karakter keindonesiaan itu
justru goyah saat ketamakan dan kezaliman kuasa menari di atas penderitaan
rakyat banyak.
Tanpa basis moral yang kuat, negara
hukum Indonesia menyimpan banyak kemungkinan kebuntuan karena konstitusi
memberikan kepercayaan besar pada moral penyelenggara negara. Pokok pikiran
keempat Pembukaan UUD 1945 menyebutkan, ”Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab, mewajibkan pemerintah dan penyelenggara
negara lainnya untuk memelihara budipekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang
teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.”
Pejabat publik adalah representasi
rakyat yang harus memiliki kepekaan etis. Kepekaan etis senantiasa menempatkan
keadilan di atas hukum. Dalam rasa keadilan, pejabat negara dalam perilaku dan
gaya hidupnya harus menenggang simpul terlemah dari jutaan rakyat kecil yang
terempas dan terputus. Para penyelenggara negara dalam mengemban tugasnya tidak
hanya bersandar pada legitimasi hukum, tetapi juga legitimasi moral
C. Dasar Prinsip Etika Bernegara
Etika merupakan dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara. Bahkanetika adalah barometer peradaban bangsa. Suatu
bangsa dikatakanberperadaban tinggi ditentukan oleh bagaimana warga bangsa
bertindak sesuaidengan aturan main yang disepakati bersama. Perilaku dan sikap
taat padaaturan main memungkinkan aktifitas dan relasi antar sesama warga
berjalansecara wajar, efisien, dan tanpa hambatan berarti. Masyarakat Jawa
misalnya,dituntut dan diajarkan untuk memahami benar tentang arti penting
etika.Sebab, etika yang juga sering disebut
unggah-ungguh, tata krama, sopan
santun,dan budi pekerti membuatnya mampu secara baik menempatkan diri
dalampergaulan sosial, dan itu akan sangat menentukan keberhasilan dalam
hidupbermasyarakat.Begitu pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, etika
akan menjelaskan mana tingkah laku yang baik, apa yang pantas, dan apa
yangsecara substansi mengandung kebaikan dan sebaliknya.
Bagi bangsa timurseperti Indonesia,
etika telah mendarah daging dimiliki dan diterapkan dalamkerangka penghormatan
terhadap nilai kebaikan, kemanusiaan, dan keadilan kolektif. Karena itu, kita
masih yakin dan percaya, etika mengalir menjadibagian dari kultur sosial dan
antropologis bangsa Indonesia. Bahkan secaranatural-genetis, di dalam diri anak
bangsa mengalir sifat-sifat luhur manusia, yang pada perkembangannya
dirumuskan oleh founding peoples ke dalamPancasila, dan selanjutnya
disepakati sebagai dasar dan orientasi bernegara.Melalui Pancasila inilah, para
pendiri negara menggariskan prinsip-prinsip dasaretis bernegara yang demikian
jelas dan visioner. Prinsip-prinsip dasar Pancasila yang dituangkan dalam
UUD 1945 dan disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945,tidaklah hadir hanya sebagai
intuitif dan tiba-tiba jatuh dari langit, melainkanmelewati proses penggalian
mendalam. Meskipun baru dibahas dan dikemukakan dalam sidang BPUPKI menjelang
Indonesia merdeka, pemikiranmengenai prinsip-prinsip dasar berbangsa dan
bernegara sebenarnya telahmuncul dan dipersiapkan jauh-jauh sebelumnya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konstitusionalisme
adalah paham penyelenggaraan negara Indonesia
yang berdasarkan konstitusi. Seluruh aturan penyelenggaraan negara diikat dalam
dan oleh Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, sebagai konsensus nasional
Indonesia. Pascaamandemen, UUD Negara RI 1945 telah semakin menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara konstitusional, dimana seluruh praktik penyelenggaraan
negara harus tunduk dan patuh pada Konstitusi RI. Amandemen Konstitusi RI juga
secara normatif telah mengadopsi sebagian besar HAM yang sebelumnya dicibir
sebagai nilai dan norma impor yang resisten. Kini, nilai dan norma HAM telah
menjadi bagian integral hak-hak konstitusional warga negara. Adopsi jaminan HAM
dalam UUD Negara RI 1945 merupakan elemen terpenting dalam paham konstitusional
Indonesia.
B. Saran
Dengan melihat pembahasan di atas
penulis menyarakan agar apa yang menjadi tujuan konstitusi negara ini dapat
diterapakn dalam kehidupan sehari-hari
DAFTAR
PUSTAKA






0 comments:
Post a Comment